Untuk ayah tercinta, Aku ingin bernyanyi
Walau
air mata dipipiku
Ayah
dengarkanlah, Aku ingin berjumpa
Walau
hanya dalam mimpi
Ayah.. aku rindu ayah. Aku ingin bertemu ayah, walaupun
itu hanya dalam mimpiku.
Ayah, aku sering sekali merasa iri dengan teman-temanku. Yang
masih bisa memanggil nama atau sebutan ‘Ayah’, ‘Bapak’, ‘Abi’, ‘Abah’, ‘Dad’, ‘Father’
dan semacamnya, Yah. Ayah.. aku selalu iri jika teman-temanku cerita tentang
ayahnya, aku iri jika temanku cerita tentang kasih sayang ayahnya. Aku selalu
iri jika temanku diantar dan dijemput saat pergi dan pulang sekolah, diantar
mendaftar kuliah, diantar ke daerah seberang kota untuk kuliah, ditunggui saat
Ujian Seleksi Masuk PTN maupun Lapor diri dan Verifikasi, diantar mencari kos,
kontrakan, asrama ataupun Pontren (baca : Pondok Pesantren). Aku selalu iri
jika temanku selalu diberi kejutan-kejutan indah dari ayahnya.
Ayah.. aku tak ingin membebani Ayah karena aku selalu
merindukan Ayah. Aku tak ingin menghambat jalan Ayah di akhirat sana untuk
menuju syurga hanya karena aku sering memanggil nama Ayah, belum merelakan Ayah
sepenuhnya. Karena memang aku masih sangat membutuhkan Ayah. Maafkan aku, Ayah.
Bukan semua itu yang aku inginkan. Aku hanya ingin Ayah tenang di syurga sana.
Aku hanya ingin Ayah bahagia melihatku bisa tumbuh menjadi seorang anak yang
kuat, tangguh, sabar, bisa selalu menerima keadaan dengan hati ‘legowo’. Aku
hanya ingin Ayah bahagia melihatku bisa membahagiakan Ibu, Adik, Nenek, Kakek
dan semua orang yang Ayah sayangi. Aku hanya ingin Ayah bangga kepadaku. Aku tak
ingin mengecewakan Ayah, dan aku tak boleh mengecewakanmu, Ayah.
Ayah, aku masih ingat waktu itu. Saat itu bulan Rhamadan,
dimana seluruh umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa. Saat itu aku masih
kecil, imut dan lucu (hehe.. ini beneran hlo, aku masih unyu-unyu), saat itu
aku masih berumur 2,5 tahun. Seperti biasa, tradisi di Indonesia, jika hari
sudah mendekati hari lebaran, semua pada berbondong-bondong untuk pulang ke
kampung halaman alias pulkam (atau biasa pada nyebut ‘mudik’). Bagitu juga
dengan Ayah. Dari Depok sampai Sragen ayahku pulang dengan mengendarai motor
kesayangannya yang dibeli dari uang hasil kerja keras ayah sendiri (dan ini
bukan hasil korupsi). Entah kenapa pada saat itu, tepatnya di daerah Pekalongan
ada tragedi lalu lintas (kecelakaan maut) yang sungguh menyisakan duka bagi
siapapun yang mengalaminya. Dan itu terjadi pada ayah, ayahku, ayah dari si
Uliya Mahalin kecil. Kecelakaan yang sungguh tragis, yang mampu merenggut nyawa
siapapun yang dihadangnya.
Melihat tragedi lalu lintas itu, warga setempat langsung
berbondong-bondong membantu korban kecelakaan. Dan polisipun segera datang dan
mengotopsi korban, termasuk ayahku. Dan ternyata Allah berkehendak lain. Allah
begitu menyayangi Ayah, dan Dia telah mengambil kembali nyawa yang telah
dititipkan kedalam jasad Ayah. Iya, dia ayahku.. Begitu identitas ayah sudah
jelas, polisi langsung mengabari keluarga ayah dan mengantar ayah sampai ke
Sragen.
Ayah tidak dipulangkan ke rumah ayah sendiri (di Senden, rumah
buatan dari hasil kerja ayah sendiri, yang sekarang Alhamdulillah masih berdiri
kokoh yang ditempati aku, ibu dan adikku), akan tetapi langsung dibawa ke rumah
orangtua ayah di Cermo, karena memang ayah dimakamkan di desa kelahirannya sana.
Begitu jenazah ayah tiba di rumah duka, semua orang menangis histeris karena
merasa kehilangan sosok yang begitu baik dan santun itu. Terutama Bulikku (dan
terutama lagi Lek.Waridah, adik pertama dari ayah), dan tentunya ibuku juga
menangis. Tetapi ibuku masih bisa menenangkan diri, karena ibu tahu dan paham
pasti bahwa meratapi ayah hanya akan menghambat jalan ayah menuju sisi Allah. Aku
melihat ibu begitu kuat, ibulah yang malah menenangkan bulikku yang masih menangis
histeris.
Ketika acara ‘lelayu’ sudah dimulai, semua orang datang
ikut berbelasungkawa mengantarkan kepergian ayahku. Uliya kecil masih begitu
polos. Pada saat itu, orang-orang bilang kepadaku kalau ini sedang ada acara
hajatan, sehingga banyak orang yang datang. Aku bingung, kalau hajatan mengapa
banyak orang yang menangis? Dan mereka menjawab kalau teman ayahku meninggal. Dan
aku yang masih polos percaya begitu saja. Dan tiba waktu melihat ayah untuk
yang terakhir kalinya. Pada saat itu aku benar-benar masih polos, tak tahu
apa-apa. Aku tak tahu kalau ayahku telah meninggal.
Aku digendong Paklikku (Lek.Amir, adik laki-laki pertama
dari ibuku) untuk melihat jenazah ayah. Masih terukir jelas dalam memoriku,
dalam peti jenazah itu ada ayah dengan pakaian putih bersih, dengan harum
wewangian yang begitu semerbak, dan kulihat wajah ayah tersenyum kepadaku,
sepertinya menyampaikan sebuah pesan kepadaku : “Nak, jaga ibumu ya. Jadilah anak
yang berbakti pada ibumu. Ayah akan pergi jauh, kamu tak boleh jadi anak yang
nakal dan cengeng.” Akan tetapi aku benar-benar belum paham apa-apa. Saat kulihat
leher ayah, tak sengaja aku mendapati kepala ayah terpenggal. Uliya kecil
bertanya dalam hati : “Siapakah ini?, kasihan sekali. Mengapa lehernya
terpenggal? Bagaimana itu bisa terjadi?” Pada saat itu aku benar-benar tak
mengenali wajah ayahku, karena wajah ayah pada saat itu benar-benar berbeda. Dan
setelah ayah disholatkan beberapa kali jamaah, jenazah ayah mulai dibawa ke
makam desa Cermo, yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah duka.
Hari demi hari telah berlalu. Setiap hari jika aku rindu
ayah, setiap kali aku selalu bertanya ke ibu. “Ibu, ayah kemana sih. Kok ndak
pernah pulang ya. Apa Ayah ndak kangen sama aku?”. Dengan raut muka yang sedih,
ibu selalu bersaha menjawab, “Ayah masih kerja, Nak. Doakan saja supaya ayah
dapat rezeki banyak dan segera pulang. Ayah kerja untuk cari rezeki supaya kamu
dapat sekolah, Nak. Supaya kamu dapat sekolah tinggi dan dapat mewujudkan
cita-citamu.” Berulang kali aku tanya hal yang sama dan ibu selalu menjawab hal
yang sama seerti itu. Uliya kecil yang masih polos selalu senang jika ibu
menjawab seperti itu. “Berarti ayah sayang sama aku dan ayah ingin aku sekolah
tinggi”, pikirku.
Tak hanya itu. Setiap kali kakekku (ayah dari ibuku) pulang
dari Depok (dulu ayahku bekerja dengan kakelku di Depok sana jualan jagung
rebus), aku selalu bertanya kapada kekek, “Kek, kok pulangnya sendirian, ndak
sama ayah. Kenapa ayah ndak ikut pulang sekalian, kek. Kan aku udah kangen
banget sama ayah”. Dan kakekku selalu saja menjawab, “Ayahmu masih banyak
kerjaan yang harus diselesaikan, Nak. Ayah besok juga pulang, kok. Ayahmu ingin
cari rezeki yang banyak dulu untuk sekolah anak kesayangannya, si Uliya. Oh ya,
ini ayahmu nitip oleh-oleh ke kakek, buah rambutan (ace) kesukaanmu, banyak
banget hlo”. Dan aku percaya begitu saja dan aku selalu girang kalau udah dapat
‘oleh-oleh buah rambutan dari ayah’.
Dan hal inipun terus berlanjut bertahun-tahun sampai
akhirnya Uliya kecil sudah mulai beranjak besar. Dan pada saat aku sudah
menginjak umur 5 tahun, aku mulai mengerti sendiri mengapa ayahku tidak pernah
pulang lagi. Karena memang ayah telah meninggal. Ayah sudah tidak ada lagi di
sampingku. Tak ada lagi ayah yang selalu mengajakku kemanapun ia pergi. Tak ada
lagi ayah yang selalu menggendongku setiap ba’da maghrib melantunkan doa-doa ditelingaku saat aku masih
bayi. Tak ada lagi ayah yang memarahiku karena aku menuangkan banyak minyak ke
punggungnya saat aku ikutan ibu ‘ngerokin’
ayah. Tak ada lagi ayah di sampingku, tak ada lagi ayah di hidupku.
Tuhan
tolonglah, sampaikan sejuta salamku untuknya
Ku
trus berjanji, tak kan khianati pintanya
Ayah
dengarlah, betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan
ku buktikan, ku mampu penuhi maumu
Dan kini saatnya aku yang akan selalu mengirimimu dengan
doa-doaku, Ayah. Doakan aku supaya aku bisa istiqomah mendoakanmu sampai nanti aku
menyusulmu kelak.
Salam cinta,
sayang dan rindu. Putrimu, Uliya Mahalin.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar